Arsitektur Rumah Kaca
Sejak zaman kekaisaran Romawi, sistem rumah kaca dalam pengelolaan lahan pertanian dan perkebunan dikenal sangat efektif. Sistem dengan memanfaatkan serapan sinar matahari melalui ruang berkaca sebagai elemen pemanasan ruang, tanah dan tanaman terbukti memberi keunggulan bagi produksi tanaman dan buah
Pemanfaatan teknologi rumah kaca, diawali dari sebuah kisah ketika seorang petani yang menanam mentimun disebuah taman dalam ruang berkaca milik seorang raja romawi, mendapati hasil yang sangat memuaskan dibandingkan mentimun yang ia tanam diladang Ia pun mencobanya dengan beberapa jenis tanaman lainnya. Hasilnya? Excelllent. Sistem pertanian rumah kaca pun diperkenalkan seantero Romawi.
M. Imam Sudrajad, Dewan Keprofesian Arsitek, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), menjelaskan bahwa, sistem rumah kaca untuk pertanian dan perkebunan memang sangat efektif, “Rumah kaca yang digunakan untuk pertanian berbeda dengan rumah kaca yang digunakan pada rumah atau gedung yang ditempati untuk manusia,” ungkap Imam.
Konsep rumah kaca ala petani romawi, kini telah banyak menginspirasi para arsitek untuk membuat rumah, bahkan gedung bertingkat. Tak sedikit para arsitek melakukan inovasi untuk merancang bangunan dari rumah kaca yang terlihat indah dipandang dan nyaman ditempati. Begitupun di
Indonesia, banyak para arsitektur yang merancang rumah kaca dengan mengedepankan estetika namun tetap menjaga kenyamanan.
Bila diperhatikan, pelbagai jenis bangunan rumah maupun gedung yang menggunakan media kaca untuk memunculkan sisi luas, seperti pada jendela, pintu, atau atap. Pengertian dari rumah kaca sendiri, adalah tempat hunian yang melindungi penghuninya dan menangkap panas dari sinar matahari yang diolah untuk pencahayaan rumah dan ruang.
“Konsep rumah kaca merupakan rumah yang didesain untuk memperlihatkan isi rumahsehingga orang bisa melihat aksesoris yang ada tepat pada ruang kaca/jendela dari luar rumah itu dan penghuninya bisa melihat pemandangan yang ada di luar rumah untuk memperlihatkan hasil desain yang dirancang oleh seorang arsitektur,” jelas Imam.
Artinya konsep rumah kaca merupakan suatu bangunan rumah yang dibangun untuk menunjukkan bagian dalam ruang rumah kepada orang lain yang berada diluar rumah. Hal ini dapat dilihat pada fisik bangunan rumah kaca tersebut, ketika orang melintasi rumah atau gedung didepan halamannya, maka ia dapatmelihat isi ruang bangunan karena menggunakan material kaca yang tembus pandang.
“Fungsi dari rumah kaca itu sendiri merupakan tempat tinggal pada umumnya namun lebih menonjolkan pada permainan pencahayaan ruangan melalui sinar matahari yang masuk dan sebagai penghangat ruangan pada siang hari, tutur Imam kepada Neraca.
Bila di tilik dari segi fungsi rumah kaca, maka semakin jelaslah, bila rumah tempat tinggal yang menggunakan pencahayaan melalui sinar matahari akan memberi keuntungan bagi penghuni rumah tersebut. Karena sinarmatahari yang masuk melalui kaca-kaca jendela atau atap kaca, akan memberi efek pencahayaan yang baik pada ruangan, “Suatu bangunan atau gedung dikatakan sebagai rumah kaca, setidaknya bangunan tersebut dibungkus 90% material kaca atau rumah itu lebih didominasi material kaca pada bagian luar rumah,” tutur Imam
Lalu bagaimana dengan panas yang menerjang? Tentunya cahaya sinar matahari memiliki panas yang meradiasi sekeliling obyek. “Panas cahaya sinar matahari yang masuk melalui kaca rumah, dapat diatur untuk pencahayaan rumah sehingga pencahayaan didalam rumah dapat maksimal dan terkesan alami, ungkap Imam.
Rumah kaca memang telah mendominasi rumah dan gedung-gedung bertingkat dihampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Oam ternyata, konsep rumah kaca yang dimiliki para arsitektur dan desainer Indonesia tidak kalah bersaingnya dengan para arsitektur luar negeri. Kemampuan tersebut merupakan peningkatan kualitas dan intelektual para arsitek yang ditempa secara matang. Walhasil, banyak arsitek dan desainer yang mampu mengimplementasikan ide dan imajinasi mereka kedalam konsep matematis yang terukur, “Dengan latar belakang yang berbeda, tak sedikit arsitek Indonesia mampu berkreasi untuk menghasilkan karya fenomenal dengan media kaca sebagai elemen. Ini patut dibanggakan,” tutur Iman.
Manfaat Kaca Untuk Arsitektur Tropis
Pergeseran pola dan aktifitas manusia, dari kehidupantradisional agraris yang bergantung kepada alam, menjadi suatu kehidupan modernindustrialistis, sangat bergantung terhadap kemampuan teknologi modern tersebut. Pada sisi fisik, muka bumipun terjadi perubahan-perubahan yang mencolok. Kawasan hutanberubah menjadi kawasan pertanian, bahkan akhirnya desa berubah menjadi kota kecil, kota kecil berubah menjadi kota besar, dan selanjutnya. Lahan kosonghabis, tanaman tinggal tersisa sedikit sekali, berubah menjadi bangunan beton buatan manusia.
Perubahan-perubahan fisik kulit bumi ini pada akhirnya mempengaruhi perubahan iklim lokal ditempat di mana perubahan fisik tersebut terjadi, serta mempengaruhi terjadinya perubahan iklim regional di tempat lain, yang akhirnya mempengaruhi perubahan iklim global. Konon perubahan iklim global ini mempengaruhi rasa nyaman untuk bertempat tinggal, baik di dalam ruang maupun di luar ruang.
Peneliti kenyamanan termis dari Inggris, Webb (An Analysis of Some Observations of Thermal Comfort in An Equatorial Climate, British Journal of Industrial Medicine, vol. 16), manyatakan bahwa sejak400 tahun sebelum Masehi, Hippocrates telah memperkenalkan effek fisik dari iklim terhadapmanusia yakni dalam bentuk suhu udara, kelembaban, angin dan radiasi sinar matahari. Dalambahasa Inggris kata ‘nyaman’ atau ‘comfort’ diartikan sebagai bebas dari rasa sakit atau bebasdari masalah (Macfarlane, dalam Tri Harso Karyono, 2007). Dalam kaitan dengan bangunan, makna kenyamanan didefinisikan sebagai suatu kondisi tertentu yang dapat memberikan sensasi yang menyenangkan (atau tidak menyulitkan) bagi pengguna bangunan tersebut (Karyono, T.H., 1989).
Sementara ini, kenyamanan biasanya hanya diukur dari termis saja, karena memang penelitian dan definisi tentang termis yang nyaman sudah banyak dilakukan, tetapi nyaman dalam arti sesungguhnya (total) rasanya belum ada yang meneliti sampai tuntas. Nyaman bisa bermakna merasa puas [Jawa: betah]. Manusia dinyatakan nyaman secara termis ketika ia tidak dapatmenyatakan apakah ia menghendaki perubahan suhu udara yang lebih panas atau lebih dingin dalam ruangan tersebut (McIntyre, D.A., 1980). Olgyay (1963) merumuskan bahwa suatu ‘daerah nyaman’ merupakan suatukondisi di mana manusia berhasil meminimalkan pengeluaran energi dari dalam tubuhnya dalamrangka menyesuaikan (mengadaptasi) terhadap lingkungan termis di sekitarnya.
Kalau dari sisi suhu, orang bisa betah tinggal disuatu tempat, apakah hal itu juga berlaku bagi indera lainnya, yaitu kenyamanan indera penglihatan, suatu keinginan untuk memberi kenikmatan pada mata, yang bisa memebri sensasi tinggal di ruang bernuansa tertentu. Inilah yang ingin diungkap dalam makalah ini yaitu kenyamanan “mata” dalam suatu ruang tertutup, tetapi masih bisa menikmati indahnya alam yang ada di luarnya, bagaimana caranya, yaitu dengan memanfaatkan pembatas ruang dari bahan yang tembus pandang, yaitu kaca.
Bagaimana penempatan kaca, agar masih tetap bernuansa ekologis, khususnya untuk
wilayah tropis seperti di Indonesia ini.
Kaca untuk Iklim Tropis
Kita mengenal istilah rumah kaca, sebenarnya ini tidak ada hubungannya dengan arsitektur permukiman, lebih ke masalah pertanian. Jelasnya adalah sebagai berikut, rumah kaca (atau juga dikenal dengan istilah green house) adalah sebuah bangunan di mana tanaman dibudidayakan. Sebuah rumah kaca terbuat dari gelas; Dia menjadi panas karena radiasi elektromagnetik yang datang dari matahari memanaskan tumbuhan, tanah, dan barang lainnya di dalam bangunan ini.
Kaca yang digunakan untuk rumah bekerja sebagai medium transmisi yang dapat memilih frekuensi spektral yang berbeda-beda dan efeknya adalah untuk menangkap energi di dalam rumah kaca, yang memanaskan tumbuhan dan tanah di dalamnya yang juga memanaskan udara dekat tanah, dan udara ini dicegah naik ke atas dan mengalir keluar. Oleh karena itu rumah kaca bekerja menangkap radiasi elektromagnetik dan mencegah konveksi.
Rumah kaca sering kali digunakan untuk mengembangkan bunga, buah dan tanaman tembakau. Selain tembakau, banyak sayuran dan bunga juga dikembangkan di rumah kaca pada akhir musim dingin atau awal musim semi, yang kemudian dipindahkan ke luar begitu cuaca menjadi hangat.
Rumah kaca menjadi penting dalam penyediaan makanan di negara garis lintang tinggi. Kompleks rumah kaca terbesar di dunia terletak di Leamington, Ontario (Kanada) di mana sekitar 0.8 km² tomat dikembangkan dalam rumah kaca ini. Itulah sejarah rumah kaca, yaitu dibangun dan diadakan untuk memanaskan suhu, hanya diperlukan pada daerah dingin. Lalu bagaimana dengan kita yang ada di Indonesia? Apakah kaca itu cocok untuk kondisi iklim di Indonesia.
Sebenarnya iklim tropis itu adalah iklim yang paling bersahabat dengan kehidupan mahluk termasuk manusia, dari sisi termal tidak pernah terjadi ekstrimitas yang tajam, maka di daerah inilah berbagai macam spesies banyak berkembang dan hidup dengan
aman, mampu berkembang biak dengan baik. Bahkan rumah tanpa dindingpun terasa nyaman dan masih aman untuk kehidupan, asalkan punya teritis yang lebar untuk menanggulangi air hujan dan terik matahari.
Sekarang untuk membuat teritis yang lebar dibutuhkan lahan yang sangat luas. Tanpa teritisan lebar, maka harus ada dinding agar nyaman. Kalau semua sekeliling bangunan ditutup dinding, bangunan menjadi terasa mengungkung penghuni, untuk itu perlu dibuat bukaan, yaitu jendela atau bahan transparan [kaca] agar hubungan ke luar masih bisa dirasakan.
Tetapi cocok-kah kaca untuk membuat batas ruangan di daerah tropis? Bukankah sifat kaca mengirim cahaya dan panas ke dalam ruangan, dan menahan panas tersebut untuk tidak keluar lagi? Kalau hal ini terjadi maka salah satu kenyamanan dalam ruang menjadi terganggu, khususnya kenyamanan termal.
Secara teknologi sudah ada kaca dengan kemampuan khusus yang mengurangi kesilauan dan mengurangi radiasi panas dengan lapisan kimia tertentu. Tetapi biayanya masih mahal. Kaca dengan ketebalan tertentu dan lebar tertentu yang non standar butuh teknologi dan biaya yang tinggi, menjadikan bahan ini kurang mendapat tempat di pasaran untuk produk bangunan. Prinsip manusia yang memiliki sifat ekonomis (homo economicus) adalah ingin mendapatkan sesuatu yang paling baik dengan biaya yang paling rendah [hasil maksimal, pengorbanan minimal], yang kemudian melahirkan budaya efisiensi. Maka diperlukan suatu model desain penempatan dinding kaca agar tidak menjebak manusia terkungkung seperti tanaman dalam rumah kaca,terlihat indah dipandang, tetapi kepanasan.
Keinginan memasang dinding kaca adalah agar orang dari dalam bisa menikmati keindahan alam di luar, dan orang luar bisa melihat keindahan interior yang ada di dalam ruangan. Inilah tantangan bagi arsitek untuk menciptakan bangunan nyamandengan pembatas kaca di daerah iklim tropis. Komunikasi keluar bisa tercipta tanpa mengurangi rasa kenyamanan termalnya.
Sebenarnya kalau kita mau mempelajari warna yang bisa tertangkap oleh indera kita dengan baik, terkenal dengan sebutan warna pelangi, yaitu tujuh spektrum warna dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, hingga warna ungu [me-ji-ku-hi-bi-niu], semakin ke tepi, baik ke kiri atau kanan, akan membutuhkan akomodasi mata secara berlebihan, hingga akhirnya ke warna infra merah yang tak bisa terlihat, demikian juga untuk ultra ungu. Hal ini bisa diartikan bahwa warna yang paling sejuk bagi mata normal, tanpa memerlukan akomodasi mata berlebih adalah warna yang ada di tengah spektrum, yaitu warna hijau, makanya ada sebagian kelompok adat tradisional yang menyatakan kalau mau sehat matanya, perbanyaklah melihat warna hijau. Dan ternyata kehidupanpun diawali dengan warna hijau, karena dengan warna hijau muncullah proses fotosintesis yang menghasilkan O2, inilah awal kehidupan yang kemudian ditunjang dengan air, jadi air hanya membantu kehidupan berlangsung, sedangkan awal kehidupan adalah kehijauan. Daerah tropis memberikan warna hijau yang sangat berlebih, mengapa tidak dimanfaatkan.
Oleh sebab itu menciptakan bukaan rumah ke luar dengan pemandangan hijau sangatlah menyehatkan, menambah tingkat kenyamanan. Satu-satunya cara agar bukaan tetap aman dari gangguan, adalah dengan pemberian dinding transparan yang berupa kaca.Disini akan disajikan beberapa contoh desain bukaan kaca pada ruang-ruang tertentu.
Kaca juga bisa dimanfaatkan untuk atap sebagai penekan suasana sekaligus sebagai penerangan dan pengarah ruangan, dengan falsafah konstruksi tropis yang ramah lingkungan, yaitu membuat atap miring untuk menghindari genangan air dan penciptaan pantulan cahaya pada kaca.
Memahami Efek Rumah Kaca dan Hubungannya dengan Arsitektur
Dan hubungannya dengan arsitektur dan konstruksi bangunan bisa membuat kita makin jeli dalam mendesain bangunan. Efek rumah kaca merupakan efek yang ditimbulkan oleh gas yang berada di atmosfer, keberadaannya merupakan sesuatu yang positif dalam level normal, tapi menjadi negatif ketika ada gas-gas tertentu yang mengganggu keseimbangan. Efek rumah kaca diperlukan untuk mempertahankan suhu diatas kerak bumi atau di udara tempat kita hidup dalam ambang normal, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Bila gas tertentu makin banyak, maka suhu bumi akan meningkat. Sejak terjadinya revolusi industri, emisi gas yang berpengaruh pada efek rumah kaca menjadi makin tinggi.
Gas-gas yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Uap air (H2O)
- Karbon dioksida (CO2)
- gas Metan (CH4)
- Ozon (O3)
Gas-gas diatas berkontribusi untuk mempertahankan suhu diatas bumi menjadi nyaman ditinggali manusia dalam arti tidak terlalu panas. Gas-gas ini memiliki kemampuan menyerap dan memancarkan radiasi panas gelombang infrared panjang (Long Wavelength Infrared) yang dimiliki oleh gas-gas tersebut.
Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan suhu karena ketidak-seimbangan gas-gas yang berkontribusi pada efek rumah kaca, namun perubahan terbesar disebabkan oleh emisi karbon dioksida (CO2) yang ditimbulkan oleh hasil pembakaran bahan bakar fosil, atau minyak dan gas bumi. Peningkatan CO2 juga disebabkan oleh pembakaran hutan untuk pertanian dan industrialisasi.
Terutama dari hasil pembakaran bahan bakar fosil, CO2 menyumbang peningkatan suhu dalam efek rumah kaca yang terbesar, terutama setelah adanya revolusi industri. Selama 800.000 tahun, kadar CO2 dalam udara diatas bumi selalu konstan dalam kisaran 180ppm dan 280ppm, dan meningkat dengan drastis dalam 250 tahun terakhir (wikipedia).
Peningkatan suhu disebabkan perubahan efek rumah kaca menyebabkan banyak perubahan dalam sistem biologis dan ekologis diatas bumi yang kebanyakan merupakan perubahan bersifat destruktif. Antara lain: peningkatan suhu menyebabkan es kutub menncair dan mempertinggi level permukaan air laut, dalam 30 tahun kedepan akan mengakibatkan banyak pulau dan bagian daratan tenggelam.
Beberapa penyebab utama dari peningkatan kadar CO2 disebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca dalam berbagai sektor:
- Pembangkit tenaga listrik berbahan bakar minyak (21,3%)
- Proses Industri ((16,8%)
- Transportasi (14%)
- Agroindustri (12,5%)
- Pemrosesan minyak dan distribusinya (11,3%)
- Rumah tinggal, bangunan komersil, dsb (10,3%)
- Penggunaan tanah dan pembakaran tanaman (10%)
- Pengolahan sampah (3,4%)
Bisa diperhatikan bahwa bidang konstruksi menyumbang sekitar 10% dari emisi CO2 yang meningkatkan suhu dalam efek rumah kaca. Sumber dari rumah tinggal dan bangunan banyak disebabkan oleh penggunaan AC, konsumsi listrik, dan transportasi. Jangan lupa bahwa dengan faktor uap air yang bisa meningkatkan suhu bumi dalamefek rumah kaca, maka menguapnya air yang lebih banyak berarti juga mempengaruhi subu bumi, dalam hal ini adalah agroindustri, meningkatnya uap air dari meningkatnya lahan sawah dan kebun.
Indonesia termasuk 5 besar penyumbang emisi karbon dioksida
dengan peringkat sebagai berikut:
- China, per tahun menyumbang 17%
- USA, per tahun menyumbang 16%
- Uni Eropa, pertahun menyumbang 11%
- Indonesia, pertahun menyumbang 6%
- India, pertahun menyumbang 5%
Jadi bagaimana sebuah negara yang 'berkembang' seperti Indonesia menyumbang 6% dari kadar CO2 dalam udara di bumi?
Hal ini karena di Indonesia tidak ada regulasi untuk mengatur jumlah emisi karbon dengan peraturan perindustrian yang tidak jelas dan tidak adanya pembatasan kendaraan bermotor. Selain itu beberapa faktor lain berkaitan dengan arsitektur dan bangunan
adalah sebagai berikut:
- Pemakaian bahan material ‘mahal’ yang membutuhkan energi fosil lebih banyak dalam proses produksi dan distribusinya. Contohnya: ‘Marmer Italy’, mengapa harus dari Italy bila dari lokal sudah ada? Proses produksi di negara yang tidak memiliki energi fosil yang melimpah, contohnya: Indonesia mengekspor baja, diproduksi oleh Jepang, Jepang mendapatkan minyak dari Indonesia, kemudian dikirim kembali ke Indonesia dalam bentuk material atau barang. Keseluruhan produksi memakan energi yang sangat besar dan emisi karbonnya juga jauh lebih tinggi.
- [Mohon perhatikan komentar pengunjung blog dibawah, terdapat kritik membangun pada masalah gas buang AC] Penggunaan AC untuk mengkondisikan udara, baik menjadi lebih dingin atau lebih hangat, merupakan proses yang mengeluarkan O3 atau gas ozon yang berdampak pada peningkatan suhu bumi. Satu AC di rumah kita mungkin berpengaruh sangat besar bagi peningkatan suhu bumi, karena itu, dari awal sebaiknya dipikirkan bagaimana membuat rumah yang bisa sejuk tanpa AC
- Proses konstruksi yang tidak efisien energi, menghasilkan lebih banyak CO2, misalnya: renovasi yang tidak diperlukan atau tanpa perencanaan, proses renovasi menimbulkan emisi CO2 dari gas buang kendaraan dalam proses produksi dan distribusi material.
- Pemakaian barang elektronik membutuhkan energi listrik, dan banyak energi listrik dibangkitkan oleh pembangkit listrik berbahan minyak / fosil. Proses menghasilkan energi listrik menimbulkan pencemaran CO2.
- Arsitektur bangunan yang tidak didesain dengan baik membutuhkan penerangan dan penghawaan buatan yang membutuhkan energi dari pembakaran fosil untuk menghasilkan listrik tersebut.
- Pemilihan jenis rumah, dimana jenis rumah yang berdiri sendiri menurut penelitian memerlukan listrik lebih banyak daripada jenis rumah-rumah townhouse
- Tidak adanya pepohonan dan tanaman yang mencukupi di area bangunan atau rumah tinggal menyebabkan panas yang dipantulkan ke udara dan ditangkap oleh gas rumah kaca yaitu H2O, CO2, CH4, dan O3. Disamping itu kurangnya pepohonan berarti berkurangnya H2O atau uap air dan CO2 yang ditangkap oleh daun tanaman dalam proses fotosintesis.
- Menutupi area tanah dengan bangunan dan perkerasan, menyebabkan tidak adanya tanaman.
Sejak zaman kekaisaran Romawi, sistem rumah kaca dalam pengelolaan lahan pertanian dan perkebunan dikenal sangat efektif. Sistem dengan memanfaatkan serapan sinar matahari melalui ruang berkaca sebagai elemen pemanasan ruang, tanah dan tanaman terbukti memberi keunggulan bagi produksi tanaman dan buah
Pemanfaatan teknologi rumah kaca, diawali dari sebuah kisah ketika seorang petani yang menanam mentimun disebuah taman dalam ruang berkaca milik seorang raja romawi, mendapati hasil yang sangat memuaskan dibandingkan mentimun yang ia tanam diladang Ia pun mencobanya dengan beberapa jenis tanaman lainnya. Hasilnya? Excelllent. Sistem pertanian rumah kaca pun diperkenalkan seantero Romawi.
M. Imam Sudrajad, Dewan Keprofesian Arsitek, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), menjelaskan bahwa, sistem rumah kaca untuk pertanian dan perkebunan memang sangat efektif, “Rumah kaca yang digunakan untuk pertanian berbeda dengan rumah kaca yang digunakan pada rumah atau gedung yang ditempati untuk manusia,” ungkap Imam.
Konsep rumah kaca ala petani romawi, kini telah banyak menginspirasi para arsitek untuk membuat rumah, bahkan gedung bertingkat. Tak sedikit para arsitek melakukan inovasi untuk merancang bangunan dari rumah kaca yang terlihat indah dipandang dan nyaman ditempati. Begitupun di
Indonesia, banyak para arsitektur yang merancang rumah kaca dengan mengedepankan estetika namun tetap menjaga kenyamanan.
Bila diperhatikan, pelbagai jenis bangunan rumah maupun gedung yang menggunakan media kaca untuk memunculkan sisi luas, seperti pada jendela, pintu, atau atap. Pengertian dari rumah kaca sendiri, adalah tempat hunian yang melindungi penghuninya dan menangkap panas dari sinar matahari yang diolah untuk pencahayaan rumah dan ruang.
“Konsep rumah kaca merupakan rumah yang didesain untuk memperlihatkan isi rumahsehingga orang bisa melihat aksesoris yang ada tepat pada ruang kaca/jendela dari luar rumah itu dan penghuninya bisa melihat pemandangan yang ada di luar rumah untuk memperlihatkan hasil desain yang dirancang oleh seorang arsitektur,” jelas Imam.
Artinya konsep rumah kaca merupakan suatu bangunan rumah yang dibangun untuk menunjukkan bagian dalam ruang rumah kepada orang lain yang berada diluar rumah. Hal ini dapat dilihat pada fisik bangunan rumah kaca tersebut, ketika orang melintasi rumah atau gedung didepan halamannya, maka ia dapatmelihat isi ruang bangunan karena menggunakan material kaca yang tembus pandang.
“Fungsi dari rumah kaca itu sendiri merupakan tempat tinggal pada umumnya namun lebih menonjolkan pada permainan pencahayaan ruangan melalui sinar matahari yang masuk dan sebagai penghangat ruangan pada siang hari, tutur Imam kepada Neraca.
Bila di tilik dari segi fungsi rumah kaca, maka semakin jelaslah, bila rumah tempat tinggal yang menggunakan pencahayaan melalui sinar matahari akan memberi keuntungan bagi penghuni rumah tersebut. Karena sinarmatahari yang masuk melalui kaca-kaca jendela atau atap kaca, akan memberi efek pencahayaan yang baik pada ruangan, “Suatu bangunan atau gedung dikatakan sebagai rumah kaca, setidaknya bangunan tersebut dibungkus 90% material kaca atau rumah itu lebih didominasi material kaca pada bagian luar rumah,” tutur Imam
Lalu bagaimana dengan panas yang menerjang? Tentunya cahaya sinar matahari memiliki panas yang meradiasi sekeliling obyek. “Panas cahaya sinar matahari yang masuk melalui kaca rumah, dapat diatur untuk pencahayaan rumah sehingga pencahayaan didalam rumah dapat maksimal dan terkesan alami, ungkap Imam.
Rumah kaca memang telah mendominasi rumah dan gedung-gedung bertingkat dihampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Oam ternyata, konsep rumah kaca yang dimiliki para arsitektur dan desainer Indonesia tidak kalah bersaingnya dengan para arsitektur luar negeri. Kemampuan tersebut merupakan peningkatan kualitas dan intelektual para arsitek yang ditempa secara matang. Walhasil, banyak arsitek dan desainer yang mampu mengimplementasikan ide dan imajinasi mereka kedalam konsep matematis yang terukur, “Dengan latar belakang yang berbeda, tak sedikit arsitek Indonesia mampu berkreasi untuk menghasilkan karya fenomenal dengan media kaca sebagai elemen. Ini patut dibanggakan,” tutur Iman.
Manfaat Kaca Untuk Arsitektur Tropis
Pergeseran pola dan aktifitas manusia, dari kehidupantradisional agraris yang bergantung kepada alam, menjadi suatu kehidupan modernindustrialistis, sangat bergantung terhadap kemampuan teknologi modern tersebut. Pada sisi fisik, muka bumipun terjadi perubahan-perubahan yang mencolok. Kawasan hutanberubah menjadi kawasan pertanian, bahkan akhirnya desa berubah menjadi kota kecil, kota kecil berubah menjadi kota besar, dan selanjutnya. Lahan kosonghabis, tanaman tinggal tersisa sedikit sekali, berubah menjadi bangunan beton buatan manusia.
Perubahan-perubahan fisik kulit bumi ini pada akhirnya mempengaruhi perubahan iklim lokal ditempat di mana perubahan fisik tersebut terjadi, serta mempengaruhi terjadinya perubahan iklim regional di tempat lain, yang akhirnya mempengaruhi perubahan iklim global. Konon perubahan iklim global ini mempengaruhi rasa nyaman untuk bertempat tinggal, baik di dalam ruang maupun di luar ruang.
Peneliti kenyamanan termis dari Inggris, Webb (An Analysis of Some Observations of Thermal Comfort in An Equatorial Climate, British Journal of Industrial Medicine, vol. 16), manyatakan bahwa sejak400 tahun sebelum Masehi, Hippocrates telah memperkenalkan effek fisik dari iklim terhadapmanusia yakni dalam bentuk suhu udara, kelembaban, angin dan radiasi sinar matahari. Dalambahasa Inggris kata ‘nyaman’ atau ‘comfort’ diartikan sebagai bebas dari rasa sakit atau bebasdari masalah (Macfarlane, dalam Tri Harso Karyono, 2007). Dalam kaitan dengan bangunan, makna kenyamanan didefinisikan sebagai suatu kondisi tertentu yang dapat memberikan sensasi yang menyenangkan (atau tidak menyulitkan) bagi pengguna bangunan tersebut (Karyono, T.H., 1989).
Sementara ini, kenyamanan biasanya hanya diukur dari termis saja, karena memang penelitian dan definisi tentang termis yang nyaman sudah banyak dilakukan, tetapi nyaman dalam arti sesungguhnya (total) rasanya belum ada yang meneliti sampai tuntas. Nyaman bisa bermakna merasa puas [Jawa: betah]. Manusia dinyatakan nyaman secara termis ketika ia tidak dapatmenyatakan apakah ia menghendaki perubahan suhu udara yang lebih panas atau lebih dingin dalam ruangan tersebut (McIntyre, D.A., 1980). Olgyay (1963) merumuskan bahwa suatu ‘daerah nyaman’ merupakan suatukondisi di mana manusia berhasil meminimalkan pengeluaran energi dari dalam tubuhnya dalamrangka menyesuaikan (mengadaptasi) terhadap lingkungan termis di sekitarnya.
Kalau dari sisi suhu, orang bisa betah tinggal disuatu tempat, apakah hal itu juga berlaku bagi indera lainnya, yaitu kenyamanan indera penglihatan, suatu keinginan untuk memberi kenikmatan pada mata, yang bisa memebri sensasi tinggal di ruang bernuansa tertentu. Inilah yang ingin diungkap dalam makalah ini yaitu kenyamanan “mata” dalam suatu ruang tertutup, tetapi masih bisa menikmati indahnya alam yang ada di luarnya, bagaimana caranya, yaitu dengan memanfaatkan pembatas ruang dari bahan yang tembus pandang, yaitu kaca.
Bagaimana penempatan kaca, agar masih tetap bernuansa ekologis, khususnya untuk
wilayah tropis seperti di Indonesia ini.
Kaca untuk Iklim Tropis
Kita mengenal istilah rumah kaca, sebenarnya ini tidak ada hubungannya dengan arsitektur permukiman, lebih ke masalah pertanian. Jelasnya adalah sebagai berikut, rumah kaca (atau juga dikenal dengan istilah green house) adalah sebuah bangunan di mana tanaman dibudidayakan. Sebuah rumah kaca terbuat dari gelas; Dia menjadi panas karena radiasi elektromagnetik yang datang dari matahari memanaskan tumbuhan, tanah, dan barang lainnya di dalam bangunan ini.
Kaca yang digunakan untuk rumah bekerja sebagai medium transmisi yang dapat memilih frekuensi spektral yang berbeda-beda dan efeknya adalah untuk menangkap energi di dalam rumah kaca, yang memanaskan tumbuhan dan tanah di dalamnya yang juga memanaskan udara dekat tanah, dan udara ini dicegah naik ke atas dan mengalir keluar. Oleh karena itu rumah kaca bekerja menangkap radiasi elektromagnetik dan mencegah konveksi.
Rumah kaca sering kali digunakan untuk mengembangkan bunga, buah dan tanaman tembakau. Selain tembakau, banyak sayuran dan bunga juga dikembangkan di rumah kaca pada akhir musim dingin atau awal musim semi, yang kemudian dipindahkan ke luar begitu cuaca menjadi hangat.
Rumah kaca menjadi penting dalam penyediaan makanan di negara garis lintang tinggi. Kompleks rumah kaca terbesar di dunia terletak di Leamington, Ontario (Kanada) di mana sekitar 0.8 km² tomat dikembangkan dalam rumah kaca ini. Itulah sejarah rumah kaca, yaitu dibangun dan diadakan untuk memanaskan suhu, hanya diperlukan pada daerah dingin. Lalu bagaimana dengan kita yang ada di Indonesia? Apakah kaca itu cocok untuk kondisi iklim di Indonesia.
Sebenarnya iklim tropis itu adalah iklim yang paling bersahabat dengan kehidupan mahluk termasuk manusia, dari sisi termal tidak pernah terjadi ekstrimitas yang tajam, maka di daerah inilah berbagai macam spesies banyak berkembang dan hidup dengan
aman, mampu berkembang biak dengan baik. Bahkan rumah tanpa dindingpun terasa nyaman dan masih aman untuk kehidupan, asalkan punya teritis yang lebar untuk menanggulangi air hujan dan terik matahari.
Sekarang untuk membuat teritis yang lebar dibutuhkan lahan yang sangat luas. Tanpa teritisan lebar, maka harus ada dinding agar nyaman. Kalau semua sekeliling bangunan ditutup dinding, bangunan menjadi terasa mengungkung penghuni, untuk itu perlu dibuat bukaan, yaitu jendela atau bahan transparan [kaca] agar hubungan ke luar masih bisa dirasakan.
Tetapi cocok-kah kaca untuk membuat batas ruangan di daerah tropis? Bukankah sifat kaca mengirim cahaya dan panas ke dalam ruangan, dan menahan panas tersebut untuk tidak keluar lagi? Kalau hal ini terjadi maka salah satu kenyamanan dalam ruang menjadi terganggu, khususnya kenyamanan termal.
Secara teknologi sudah ada kaca dengan kemampuan khusus yang mengurangi kesilauan dan mengurangi radiasi panas dengan lapisan kimia tertentu. Tetapi biayanya masih mahal. Kaca dengan ketebalan tertentu dan lebar tertentu yang non standar butuh teknologi dan biaya yang tinggi, menjadikan bahan ini kurang mendapat tempat di pasaran untuk produk bangunan. Prinsip manusia yang memiliki sifat ekonomis (homo economicus) adalah ingin mendapatkan sesuatu yang paling baik dengan biaya yang paling rendah [hasil maksimal, pengorbanan minimal], yang kemudian melahirkan budaya efisiensi. Maka diperlukan suatu model desain penempatan dinding kaca agar tidak menjebak manusia terkungkung seperti tanaman dalam rumah kaca,terlihat indah dipandang, tetapi kepanasan.
Keinginan memasang dinding kaca adalah agar orang dari dalam bisa menikmati keindahan alam di luar, dan orang luar bisa melihat keindahan interior yang ada di dalam ruangan. Inilah tantangan bagi arsitek untuk menciptakan bangunan nyamandengan pembatas kaca di daerah iklim tropis. Komunikasi keluar bisa tercipta tanpa mengurangi rasa kenyamanan termalnya.
Sebenarnya kalau kita mau mempelajari warna yang bisa tertangkap oleh indera kita dengan baik, terkenal dengan sebutan warna pelangi, yaitu tujuh spektrum warna dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, hingga warna ungu [me-ji-ku-hi-bi-niu], semakin ke tepi, baik ke kiri atau kanan, akan membutuhkan akomodasi mata secara berlebihan, hingga akhirnya ke warna infra merah yang tak bisa terlihat, demikian juga untuk ultra ungu. Hal ini bisa diartikan bahwa warna yang paling sejuk bagi mata normal, tanpa memerlukan akomodasi mata berlebih adalah warna yang ada di tengah spektrum, yaitu warna hijau, makanya ada sebagian kelompok adat tradisional yang menyatakan kalau mau sehat matanya, perbanyaklah melihat warna hijau. Dan ternyata kehidupanpun diawali dengan warna hijau, karena dengan warna hijau muncullah proses fotosintesis yang menghasilkan O2, inilah awal kehidupan yang kemudian ditunjang dengan air, jadi air hanya membantu kehidupan berlangsung, sedangkan awal kehidupan adalah kehijauan. Daerah tropis memberikan warna hijau yang sangat berlebih, mengapa tidak dimanfaatkan.
Oleh sebab itu menciptakan bukaan rumah ke luar dengan pemandangan hijau sangatlah menyehatkan, menambah tingkat kenyamanan. Satu-satunya cara agar bukaan tetap aman dari gangguan, adalah dengan pemberian dinding transparan yang berupa kaca.Disini akan disajikan beberapa contoh desain bukaan kaca pada ruang-ruang tertentu.
Kaca juga bisa dimanfaatkan untuk atap sebagai penekan suasana sekaligus sebagai penerangan dan pengarah ruangan, dengan falsafah konstruksi tropis yang ramah lingkungan, yaitu membuat atap miring untuk menghindari genangan air dan penciptaan pantulan cahaya pada kaca.
Memahami Efek Rumah Kaca dan Hubungannya dengan Arsitektur
Dan hubungannya dengan arsitektur dan konstruksi bangunan bisa membuat kita makin jeli dalam mendesain bangunan. Efek rumah kaca merupakan efek yang ditimbulkan oleh gas yang berada di atmosfer, keberadaannya merupakan sesuatu yang positif dalam level normal, tapi menjadi negatif ketika ada gas-gas tertentu yang mengganggu keseimbangan. Efek rumah kaca diperlukan untuk mempertahankan suhu diatas kerak bumi atau di udara tempat kita hidup dalam ambang normal, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Bila gas tertentu makin banyak, maka suhu bumi akan meningkat. Sejak terjadinya revolusi industri, emisi gas yang berpengaruh pada efek rumah kaca menjadi makin tinggi.
Gas-gas yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Uap air (H2O)
- Karbon dioksida (CO2)
- gas Metan (CH4)
- Ozon (O3)
Gas-gas diatas berkontribusi untuk mempertahankan suhu diatas bumi menjadi nyaman ditinggali manusia dalam arti tidak terlalu panas. Gas-gas ini memiliki kemampuan menyerap dan memancarkan radiasi panas gelombang infrared panjang (Long Wavelength Infrared) yang dimiliki oleh gas-gas tersebut.
Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan suhu karena ketidak-seimbangan gas-gas yang berkontribusi pada efek rumah kaca, namun perubahan terbesar disebabkan oleh emisi karbon dioksida (CO2) yang ditimbulkan oleh hasil pembakaran bahan bakar fosil, atau minyak dan gas bumi. Peningkatan CO2 juga disebabkan oleh pembakaran hutan untuk pertanian dan industrialisasi.
Terutama dari hasil pembakaran bahan bakar fosil, CO2 menyumbang peningkatan suhu dalam efek rumah kaca yang terbesar, terutama setelah adanya revolusi industri. Selama 800.000 tahun, kadar CO2 dalam udara diatas bumi selalu konstan dalam kisaran 180ppm dan 280ppm, dan meningkat dengan drastis dalam 250 tahun terakhir (wikipedia).
Peningkatan suhu disebabkan perubahan efek rumah kaca menyebabkan banyak perubahan dalam sistem biologis dan ekologis diatas bumi yang kebanyakan merupakan perubahan bersifat destruktif. Antara lain: peningkatan suhu menyebabkan es kutub menncair dan mempertinggi level permukaan air laut, dalam 30 tahun kedepan akan mengakibatkan banyak pulau dan bagian daratan tenggelam.
Beberapa penyebab utama dari peningkatan kadar CO2 disebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca dalam berbagai sektor:
- Pembangkit tenaga listrik berbahan bakar minyak (21,3%)
- Proses Industri ((16,8%)
- Transportasi (14%)
- Agroindustri (12,5%)
- Pemrosesan minyak dan distribusinya (11,3%)
- Rumah tinggal, bangunan komersil, dsb (10,3%)
- Penggunaan tanah dan pembakaran tanaman (10%)
- Pengolahan sampah (3,4%)
Bisa diperhatikan bahwa bidang konstruksi menyumbang sekitar 10% dari emisi CO2 yang meningkatkan suhu dalam efek rumah kaca. Sumber dari rumah tinggal dan bangunan banyak disebabkan oleh penggunaan AC, konsumsi listrik, dan transportasi. Jangan lupa bahwa dengan faktor uap air yang bisa meningkatkan suhu bumi dalamefek rumah kaca, maka menguapnya air yang lebih banyak berarti juga mempengaruhi subu bumi, dalam hal ini adalah agroindustri, meningkatnya uap air dari meningkatnya lahan sawah dan kebun.
Indonesia termasuk 5 besar penyumbang emisi karbon dioksida
dengan peringkat sebagai berikut:
- China, per tahun menyumbang 17%
- USA, per tahun menyumbang 16%
- Uni Eropa, pertahun menyumbang 11%
- Indonesia, pertahun menyumbang 6%
- India, pertahun menyumbang 5%
Jadi bagaimana sebuah negara yang 'berkembang' seperti Indonesia menyumbang 6% dari kadar CO2 dalam udara di bumi?
Hal ini karena di Indonesia tidak ada regulasi untuk mengatur jumlah emisi karbon dengan peraturan perindustrian yang tidak jelas dan tidak adanya pembatasan kendaraan bermotor. Selain itu beberapa faktor lain berkaitan dengan arsitektur dan bangunan
adalah sebagai berikut:
- Pemakaian bahan material ‘mahal’ yang membutuhkan energi fosil lebih banyak dalam proses produksi dan distribusinya. Contohnya: ‘Marmer Italy’, mengapa harus dari Italy bila dari lokal sudah ada? Proses produksi di negara yang tidak memiliki energi fosil yang melimpah, contohnya: Indonesia mengekspor baja, diproduksi oleh Jepang, Jepang mendapatkan minyak dari Indonesia, kemudian dikirim kembali ke Indonesia dalam bentuk material atau barang. Keseluruhan produksi memakan energi yang sangat besar dan emisi karbonnya juga jauh lebih tinggi.
- [Mohon perhatikan komentar pengunjung blog dibawah, terdapat kritik membangun pada masalah gas buang AC] Penggunaan AC untuk mengkondisikan udara, baik menjadi lebih dingin atau lebih hangat, merupakan proses yang mengeluarkan O3 atau gas ozon yang berdampak pada peningkatan suhu bumi. Satu AC di rumah kita mungkin berpengaruh sangat besar bagi peningkatan suhu bumi, karena itu, dari awal sebaiknya dipikirkan bagaimana membuat rumah yang bisa sejuk tanpa AC
- Proses konstruksi yang tidak efisien energi, menghasilkan lebih banyak CO2, misalnya: renovasi yang tidak diperlukan atau tanpa perencanaan, proses renovasi menimbulkan emisi CO2 dari gas buang kendaraan dalam proses produksi dan distribusi material.
- Pemakaian barang elektronik membutuhkan energi listrik, dan banyak energi listrik dibangkitkan oleh pembangkit listrik berbahan minyak / fosil. Proses menghasilkan energi listrik menimbulkan pencemaran CO2.
- Arsitektur bangunan yang tidak didesain dengan baik membutuhkan penerangan dan penghawaan buatan yang membutuhkan energi dari pembakaran fosil untuk menghasilkan listrik tersebut.
- Pemilihan jenis rumah, dimana jenis rumah yang berdiri sendiri menurut penelitian memerlukan listrik lebih banyak daripada jenis rumah-rumah townhouse
- Tidak adanya pepohonan dan tanaman yang mencukupi di area bangunan atau rumah tinggal menyebabkan panas yang dipantulkan ke udara dan ditangkap oleh gas rumah kaca yaitu H2O, CO2, CH4, dan O3. Disamping itu kurangnya pepohonan berarti berkurangnya H2O atau uap air dan CO2 yang ditangkap oleh daun tanaman dalam proses fotosintesis.
- Menutupi area tanah dengan bangunan dan perkerasan, menyebabkan tidak adanya tanaman.
Bagus nih tipsnya...mantaaapp...
BalasHapusTemplete.. siip...
So far...good....
tambahkan lagi ya tips2 yang seru lainnya...
Terima kasih...